Rencana Wali Kota Depok Merazia LGBT Bertentangan dengan Aturan Ini

Senin, 13 Januari 2020 14:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Komnas HAM
Iklan

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Beka Ulung Hapsara meminta Wali Kota Depok, Mohammad Idris, membatalkan kebijakannya yang akan melakukan razia terhadap aktivitas kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Kata dia, hal itu merupakan tindakan sangat diskriminatif. 

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Beka Ulung Hapsara meminta Wali Kota Depok, Mohammad Idris, membatalkan kebijakannya yang akan melakukan razia terhadap aktivitas kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Kata dia, hal itu merupakan tindakan sangat diskriminatif. 

"Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut," kata Beka dalam keterangan tertulis yang dimuat Tempo.co, Senin, 13 Januari 2020.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika Idris tetap berkeras melanjutkan rencana merazia aktivitas LGBT itu, inilah aturan yang dilanggar menurut Beka Ulung:

1. Bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, UUD 45. Pasal yang dimaksud, Pasal 28G (1) dan Pasal 28I (2) UUD 1945, yang menjamin keamanan dan kebebasan dari diskriminasi.

2. Melanggar Instrumen HAM, yakni jaminan pemenuhan hak atas kebebasan yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebelumnya Mohammad Idris telah menginstruksikan Perangkat Daerah (PD) di ataranya Satpol PP, Dinas Kepebdudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Dinas Sosial dan Dinas Perlidungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) untuk ikut aktif dalam mengatasi persoalan kriminalisasi seksual.

"Untuk Satpol PP Kota Depok saya minta untuk aktif melakukan penindakan dengan razia sejumlah penghuni kos-kosan, kontrakan, apartemen, dan lainnya berkaitan pencegahan dan penyebaran perilaku seks bebas dan penyimpangan seks atau LGBT," ujar Idris di Balai Kota Depok, Jumat (10/1), seperti ditulis Republika.co.id.

Perintah Idris itu dikeluarkan karena dia menyayangkan kasus kekerasan seksual sesama jenis yang dilakukan Reynhard Sinaga (warfa Depok) di Manchester, Inggris. Reynhard diputus bersalah dan dihukum seumur hidup karena terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap 159 pria di Inggris.

Idris beranggapan langkahnya itu merupakan upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT.

Ide itu ditentang Komnas HAM, karena sekain bertentangan dengan HAM, juga mempetimbangkan bahwa Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiawaan.

Ketentuan dari WHO ini, kata dia, diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993. Di sana tertera bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender, bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
 
Berikutnya: Persekusi Terhadap LGBT Selama Ini<--more-->

Hingga kini belum diperoleh respon Idris. Jika rencana itu ditertuskan, muncul kekhawatiran hal itu bakal menjadi persekusi bagi mereka yang tegrolong LGBT. 

Bulan lalu Arus Pelangi --Organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak-hak orang LGBTI-- merilis catan mereka atas berbagai persekusi yang dialami LGBT 12 tahun terakhir. Catatan itu diberi judul Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia

Dalam catatan yang dimut dalam Tempo.co itu, ada 1.850 korban persekusi yang terjadi dalam 172 peristiwa selama 2006-2018. Persekusi itu terutama muncul dalam bentuk ujaran yang mengarah pada kebencian.

"Patut diduga penyebab diskriminasi yang meluas dan sistemik tersebut disebabkan masifnya ujaran kebencian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, aparat penegak hukum, eksekutif, dan legislatif," kata Riska Carolina, peneliti dan penulis Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia kepada Tempo, Senin 23 September 2019.

Riska mengatakan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP berpotensi membuat celah lebih besar terjadinya persekusi. Buktinya, kata dia, pada pasal pencabulan sesuai draft versi 15 September 2019 menyebutkan pencabulan yang dilakukan dengan kekerasan/ancaman kekerasan, di depan umum, maupun pornografi oleh sesama jenis dipidana sampai dengan 9 tahun penjara.

Pasal yang mengatur tentang pencabulan ini, kata Riska, menunjukkan negara secara langsung menstigmatisasi LGBTI sebagai orang cabul dan pantas untuk dipidana. "Penyebutan secara spesifik 'sama jenisnya' merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksual dan identitas gendernya."

Selain itu, keterkaitan pasal pencabulan sesama jenis dengan pasal living law di RKUHP akan memperparah diskriminasi terhadap LGBTI secara sistemik. Pasal living law dalam RKUHP membuka keran dibuatnya peraturan daerah, terutama perda diskriminatif terhadap LGBTI. Mengutip data Komnas Perempuan, sampai dengan 2017 terdapat sebanyak 421 perda diskriminatif.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indonesiana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler